Senin, 23 Agustus 2010

Kampung Urug Katurunan Prabu Siliwangi ?

Pajajaran, Siliwangi, Nyi Pohaci, Sunda, Bogor, Kampung Urug
Kampung Urug Masih Keturunan Prabu Siliwangi? Penemuan Hari jadi Bogor yang jatuh pada 3 Juni merupakan salah satu karya besar Sejarawan Bogor, Alm. Drs. Saleh Danasasmita yang sangat tekun mempelajari Sejarah Bogor.
Dalam bukunya, Saleh mengatakan bahwa pada tanggal itu terjadi pemindahan pemerintahan dari Kawali, Ciamis ke Pakuan ( Bogor). Adanya penyatuan Kerajaan Sunda Galuh dan Pakuan menjadikan, Prabu Dewata bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji Pakuan Pajajaran atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Kebesaran Prabu Siliwangi tak pupus oleh waktu tak lekang oleh zaman, bahkan saat inipun banyak sekali kelompok masyarakat yang selalu mengkaitkannya dan mengklaim sebagai turunan dari Prabu Siliwangi (seuweu siwi Siliwangi).
Selain itu ada juga kelompok masyarakat yang "biasa" berkomunikasi dengan Eyang Prabu yang digjaya ini, bahkan mereka secara rutin memberikan suguhan (sesajen) bagi mantan Raja Pakuan Pajajaran ini. Nama Prabu Siliwangi seakan masih hidup abadi sekalipun kerajaannnya hanya tinggal puing puingnya saja, salah satu diantaranya Prasasti Batutulis. Dari berbagai kelompok masyarakat atau perorangan yang mengklaim dirinya turunan langsung dari Prabu Siliwangi adalah masyarakat Kampung Urug. Kampung yang terletak di sebuah lembah yang subur ini masuk dalam wilayah admisnistrasi Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Menurut Kokolot Kampung Urug Tonggoh Abah Rajasa atau sering dipanggil dengan Kolot Kayod, Sejarah Kampung Urug erat kaitannya dengan zaman Eyang Prabu ( Silwangi?) saat timbul tenggelam ( tilem) yang kurun waktunya 5 tahun. "Saat berada di Kadu Jangkung, Eyang Prabu berkata bahwa suatu saat nanti kampung tersebut akan menjadi daerah pertanian," ujar Abah
Kayod. Cerita atau Sejarah yang dipahami Kayod berasal dari kokolot sebelumnya. Saat belum menjadi orang yang dituakan, Rajasa sama sekali tidak mengetahui riwayat Kampung Urug, sekalipun kisah ini selalu diceritakan setiap tahun saat Perayaan Seren Pataunan.
Kejadian serupa dialami Kokolot Urug Lebak, Abah Ukat yang baru setahun mengemban jabatan tersebut. Ukat sendiri sebelumnya seorang pedagang yang mencari nafkah di Pasar Leuwiliang. Masamudanya dihabiskan di luar Kampung Urug. Namun karena pergantian kokolot disana berdasarkan wangsit, jadilah ia orang yang dituakan di kampung yang konon katanya pernah ditinggali mantan orang nomor satu di negeri ini, Presiden Soekarno.
Tingkah laku masyarakat Urug dalam bertani, takkan pernah lepas dari kisah (jasa ?) Nyi. Sari Pohaci atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Urug yang diwakili kokolotnya, Dewi Sri adalah putri dari Eyang Prabu yang meninggal saat usianya masih muda dan belum sempat menikah. Saat mendapatkan menstruasi pertamakali, darahnya tidak pernah berhenti sampai akhirnya meninggal dunia.
Menurut mereka, Dewi Sri mendapat haid pertama kali pada hari Senin, makanya pantang bagi masyarakat Urug untuk mengurus padi pada hari tersebut. Sedang pada hari Jumat, darah menstruasinya disiram dengan air dan jatuh ke bumi. Hari Jumat inilah merupakan pantangan bagi petani Urug untuk pergi ke ladang atau sawah. Di hari ini sebagian besar penduduk yang masih menjaga tradisi para karuhun tidak akan pergi ke sawah, khususnya para pemegang adat. Yang masih sangat kental dan terlihat jelas atau yang membedakan budaya Kampung Urug dengan yang lainnya ialah adanya leuit atau lumbung padi di hampir seluruh rumah.
Mungkin inilah gambaran nyata dari sisa budaya Sunda baheula atau bisa jadi zaman Prabu Siliwangi masih jeneng. Namun hal ini juga sebenarnya masih menyisakan perdebatan, karena menurut Budayawan Sunda kahot, Anis Djatisunda yang tinggal di Sukabumi, budaya pertanian "urang Sunda" mah, ngahuma dan lebih cenderung berpindah pindah tempat.
Sementara budaya nyawah berasal dari Mataram. Sedang mengenai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, Almarhum H. Komaruddin budayawan yang rajin menulis di salah satu harian local Bogor, sebelum meninggal pernah mengatakan kalau yang dimaksudkan oleh masyarakat Kampung Urug adalah Prabu Nilakendra. Menurut Ki Marko, dilihat dari kurun waktu dan kesamaan pribadi Nilakendra yang sering jalan jalan atau ngalalana, sangat dimungkinkan bukan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Lepas dari itu semua, Kampung Urug saat ini masih menjaga kelestarian budaya Sunda Buhun selain yang disebutkan diatas diantaranya masih adanya Rumah Panggung tempat karuhun ngareureuh, dan kebiasaan lain yang merupakan cerminan di masa lalu.
Masuknya agama Islam ke Kampung Urug secara otomatis merubah pola hidup masyarakat setempat, meskipun masih ada sisa sisa "kebiasaan" karuhun yang dipertahankan. Gabungan dari kebiasaan yang sangat baik terlihat dalam upacara Seren Pataunan. Ada anggapan "haram" hukumnya menyatukan padi yang belum dikeluarkan zakatnya ke leuit dicampurkan dengan padi yang lama.
Zakatnyapun cukup besar tidak kurang dari 10 persen dari hasil taninya. Inilah mungkin yang membuat Kampung Urug tidak pernah terkena krisis ekonomi, seperti yang diungkapkan isteri mantan kokolot Adang (sebelum Kolot Ukat) bahwa dengan satu kali panen cukup untuk hidup selama 2 tahun. Padahal jenis padi yang ditanam adalah pare gede yang umurnya 6 - 8 bulan dengan hasil panenan tidak lebih dari 3 ton permasakali tanamnya. Satu hal yang tidak mungkin bila dihitung dengan matematik dan kurang masuk akal bila dikalikan dengan biaya hidup saat ini.
Dadang H. Padmadiredja Penulis adalah Pemerhati Budaya Tinggal di Bogor.
Sumber: www.Bogornews.Com
kantos diterbitkeun dina majalah Madani Kota Bogor

Jumat, 20 Agustus 2010

baduy

Uraian dalam tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian, yaitu yang pertama memberikan gambaran umum tentang lokasi dan kependudukan, kemudian struktur ruang dan struktur sosial serta terakhir adalah kondisi masyarakat Baduy dalam konteks kekinian. Tentu dalam uraian ini tidak diarahkan untuk memberikan penilaian atau interpretasi terhadap suatu masalah yang tampak melainkan membiarkan sesuatu gejala itu wujud.

Desa Kanekes

Desa Kanekes adalah salah satu desa di Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas 5.101,85 hektar, sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.

Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah 291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun 1899 meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902), tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi menjadi 3.935 orang. Tahun 1971 berjumlah 4.078 orang, tahun 1983 penduduk Desa Kanekes menjadi 4.574 orang, tahun 1995berjumlah 5.672 orang dan tahun 1999 berjumlah 7.041 orang.

Hal itu berarti, telah terjadi peningkatan penduduk hampir 20 kali lipat. Keadaan ini menuntut penyediaan lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui pertambahan kampung, yaitu tahun 1891, masih terdiri atas 9 kampung (3 tangtu, 1 panamping, 5 dangka), 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, berjumlah menjadi 17 kampung (3:7:7), tahun 1952 bertambah menjadi 31 kampung (3:21:7), pada tahun 1975 menjadi 36 kampung (3:30:3), tahun 1986 terjadi penambahan menjadi 43 kampung (3:37:3), tahun 1996 menjadi 53 kampung (3:47:3), dan tahun 2000 tercatat menjadi 56 kampung (3:50:3).

Pertambahan jumlah kampung di Desa kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Padahal dalam strategi mereka untuk mengatasi keadaan serupa itu dikenal suatu cara penyediaan lahan permukiman (kampung) yang boleh berada di luar wilayah Desa Kanekes, sehingga lahan garapan berhuma mereka tidak berkurang. Strategi penyediaan permukiman seperti itu, dikenal dalam tatanan kehidupan mereka sebagai kampung dangka yang menurut catatan justru jumlah dangka pada masa kini semakin berkurang. Hal itu, akibat pada masa-masa terakhir ini dangka ditarik kembali ke wilayah Desa Kanekes atas suatu soal yang dihadapi mereka dengan penduduk sekitarnya.

Akibat yang paling parah bagi Desa Kanekes, penduduk dan lahan untuk permukiman menjadi semakin bertambah. Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem perladangan mereka yang dikenal sebagai slash and burn lajunya semakin dipercepat yang menimbulkan tingkat kesuburan tanah semakin berkurang dari tahun ke tahun.

Sebutan dan asal Orang Baduy, Orang Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang karuhun mereka. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun dengan alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.

Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah Banten utara pada Abad ke-16.

Kegalauan sebutan terhadap penduduk Kanekes baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun penulis-penulis asing pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan perkiraan yang mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya, termasuk aspek linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pembakuan sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata Badoeis, Bedoeis dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden di gurun pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda yang berarti tidak beragama Islam.

Pleyte (1909), memberikan alasan tentang sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri. Ia mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.

Selain, sebutan untuk orang Baduy yang merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga menjadi bahan kajian yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi, 1952). Bahkan penulis-penulis setelah kemerdekaan Indonesia seringkali mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya, Djunaedi dkk., 1985; dan Danasasmita, 1986).

Orang Baduy menurut pandangan yang dikemukakan penulis itu, adalah keturunan dari pelarian keraton Pajajaran yang melarikan diri ke sebelah selatan Banten dan terdesak oleh serangan Sultan Hasanuddin yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Dari penulis asing tampaknya ada kecenderungan persamaan pandangan dalam hal asal orang Baduy, mereka beranggapan bahwa asal orang Baduy bukan dari Banten utara ataupun pelarian dari kerajaan Pajajaran tetapi mereka adalah orang-orang setempat yang sudah berada di sana sejak lama sebelum pengaruh Islam tiba dan mengubah kepercayaan setempat.

Kampung dan Ikatan Kerabat

Untuk melihat kekerabatan orang Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para Batara. Selain itu, dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola tempat tinggal sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam masyarakat.

Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanekes seluruh penduduknya merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan terletak pada tua dan muda dari sisi generasi.

Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda. Oleh karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas tempat yang disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan mengikuti yang tertua. Demikian juga halnya dengan pembagian kombala, berupa tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan kerabat tua dan muda.

Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan kaum-kerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan (4) menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan yang disepakati bersama.

Prinsip kekerabatan tersebut, dalam konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952) dalam disertasinya yang berjudul Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten, mengungkapkan bahwa kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur. Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden itu berdasarkan perkawinan asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double descent) serta suatu preferensi untuk perkawinan antarsepupu (cross-cousins marriage) dengan kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak ibu.

Temuan Geise tentang sistem kekerabatan Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh Berthe, sebab ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai untuk menelaah kekerabatan Orang Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-laki dari pihak ibu di dalam terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang khas Orang Sunda, yaitu perlawanan (oposisi) antara kakak dan adik.

Dari perlawanan itu ada kecenderungan yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antarsepupu (cross-cousins) (Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang menurut Berthe (2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya.

Dalam kaitan itu, Garna (1988), melihat bahwa antara dangka dan tangtu adalah seperti rangka dengan isi yang pasti, yaitu tangtu merupakan nenek moyang atau karukun yang dengan istilah lain sebagai pusat dan dangka sebaga isi dari seluruh keturunannya. Dangka adalah tempat tinggal bagi warga tangtu yang untuk sementara waktu tinggal di sana karena melanggar adat sebagaimana ditentukan oleh nenek moyang. Untuk sementara sampai dosanya dianggap lebur, orang tangtu yang tinggal di dangka sebenarnya masih satu keluarga dengan warga kampung tangtu yang mengirimkan mereka ke sana. Jika mereka yang di dangka itu tidak dapat atau tidak mau kembali ke tangtu, maka mereka tetap merupakan kerabat dekat. Dari istilah warga dangka mereka itu disebut kaum dangka, dan sebutan tersebut menunjukkan bahwa mereka masih segolongan atau sekerabat dengan warga tangtu.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa warga kampung tangtu berkerabat dekat dengan 3 kampung. Tangtu Cikeusik berkerabat dekat dengan warga dangka Cibengkung, Kompol dan Kamancing, sedangkan Tangtu Cibeo berkerabat dengan dangka Cihandam, dan tangtu Cikertawana berkerabat dekat dengan dangka Cilenggor, Nungkulan dan Panyaweuyan. Ikatan kerabat yang dekat itu berlaku pula terhadap warga yang tinggal di kampung-kampung Baduy-luar atau mereka menyebut panamping yang warganya disebut kaum daleum. Warga kampung tangtu Cikeusik berhubungan kerabat yang erat dengan warga kampung Pamoean dan Cipiit, tangtu Cibeo dengan kampung Gajeboh, Kaduketer, dan kampung Cihulu, sedangkan warga tangtu Cikertawana berkerabat dekat dengan warga kampung Cikopeng.

Dalam perkembangannya kampung-kampung kaum daleum kini semakin bertambah, dengan jumlahnya menjadi 12 buah kampung pada tahun 1986. Pengembangan dari kampung induk merupakan pengembangan kerabat kaum daleum dari kampung induknya, sehingga dengan sendirinya mereka pun terkait pula dengan kampung asalnya di tangtu.

Kelompok Asal Keturunan

Orang Baduy mengelompok menurut asal keturunan tangtu, yaitu keluarga luas yang tinggal dalam satu kampung. Ada 3 kelompok kekerabatan dalam kesatuan orang tangtu, yaitu tangtu Cikeusik, tangtu Cikertawana dan tangtu Cibeo. Adapun hirarki kekerabatan itu sesuai dengan urutan dari yang paling tua ke yang paling muda, yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Menurut Garna (1988), walaupun cenderung terdapat orientasi kepada pihak ibu (ambu), biasanya seorang pria membawa istrinya ke kampung tangtu tempat tinggal keluarga luasnya dan membuat rumah baru. Namun dalam upacara-upacara keagamaan Sunda Wiwitan mereka mengikuti kampung asal istrinya. Keadaan itu tampaknya tidak berlaku mutlak untuk seorang wanita yang mengikuti keluarga luas suaminya, karena seorang pria juga dapat mengikuti istri ke kampung asalnya.

Seluruh Desa Kanekes terbagi dalam dua wilayah penting, yaitu wilayah tangtu (sakral) dan wilayah panamping (profan). Makin ke arah selatan daerahnya makin sakral, dan daerah tersuci adalah hulu Ciujung, tempat Sasaka Pusaka Buana yang lebih dikenal dengan sebutan Sasaka Domas. Derajat sakral menurut bagian kampung dengan arah seperti itu berlaku pula dihampir setiap kampung panamping. Rumah kokolot (ketua adat dan agama) adalah daerah sakral dan bagian belakang rumah biasanya bersambung ke hutan kampung. Di daerah kampung tangtu yang sakral pun masih terdapat daerah tersakral yang tidak boleh diinjak orang luar, yaitu rumah puun dan daerah sekitarnya.

Dalam kaitan itu, mitologi Baduy mengungkapkan bahwa Batara Tunggal Karang menurunkan 7 anak (batara) yang memerintah di 7 wilayah, yaitu Parahyang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bombang dan Banten. Dalam kaitan ini sistem kekerabatan orang Baduy terkait dengan organisasi sosial Banten (Berthe, 1965). Para puun diturunkan dari garis tua atau kakak sedangkan sultan-sultan Banten dari garis muda atau adik yang mempunyai peranannya masing-masing sesuai dengan hirarki tersebut (Garna, 1988).

Pembagian yang memotong seluruh warga masyarakat Baduy dalam dua paroh masyarakat, yaitu tangtu dan panamping, menentukan posisi masing-masing dalam rangka suatu kesatuan masyarakat. Peranan untuk saling mengendalikan dan mengawasi ditentukan oleh sistem pajaroan yang dibentuk serta dipimpin oleh tangtu atau tiga puun. Puun mengangkat seorang jaro, yaitu tanggungan jaro duawelas yang bertugas mengawasi para jaro, terutama para jaro di panamping dan kampung dangka.

Dalam pamarentahan Baduy dikenal suatu sistem pemimpin yang meliputi sejumlah pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri. Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun. Mereka dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan konsep itu dalam menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme menjalankan kekuasaan tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.

Asal Pemimpin

Untuk mengetahui asal mula pemimpin dan pamarentahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di tiga daerah tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia. Tempat mula menurunkan para Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka, adalah di Sasaka Domas yang setelah menurunkan para Batara kemudian turun para daleum, peristiwa itu mereka menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu ngersakeun. Karena itu, tempat tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan tempat suci dari suatu awal kelahiran manusia serta Mandala Sunda.

Batara Patanjala merupakan anak laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai nenek moyang Orang Tangtu. Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah daleum Janggala, daleum Lagondi, daleum Putih Seda, daleum Cinangka, daleum Sorana, Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.

Daleum Janggala menurunkan puun Cikeusik, daleum Langondi menurunkan Puun Cikertawana. Dan daleum Seda Hurip penurunkan puun Cibeo. Sedangkan daleum Cinangka menurunkan para girang seurat, daleum Sorana, menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan para jaro dangka.

Dalam perkembangannya kemudian, setelah semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para puun yang meneruskan kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada alam dan dunia hanya dihuni oleh dua orang, yaitu sepasang puun, yakni puun Cikeusik. Tuturan tersebut, mengemukakan bahwa puun Cikeusik lah manusia pertama yang ada di dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah sepasang, yaitu puun Cikeusik. Baru kemudian menyusul puun Cikertawana dan Cibeo. Tuturan lainnya, menyebutkan, bahwa kejeroan semuanya adalah anak-cucu puun perempuan. Anak puun Cikeusik menjadi puun Cibeo, anaknya kemudian menjadi puun Cikertawana.

Asal Pamarentahan Baduy

baduy22

Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat.

Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para puun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.

Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma puun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.

Pamarentahan Baduy

Di rumah, kepala keluarga inti mengatur kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial terhadap aturan adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga intinya, berhuma, hubungan dengan kaum kerabat, melakukan perhitungan untuk menentukan saat mulai menanam, bepergian, menyelenggarakan perkawinan, pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara.

Pada tingkat kampung ada beberapa jenis pemimpin. Di kampung dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama yang disebut jaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang disampaikan melalui puun, dan ia juga dapat berkumpul di tangtu dalam upacara keagamaan penting. Selain itu, jaro dangka juga diharuskan turut serta dalam upacara membersihkan kampung tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar.

Dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang yang dituakan dalam kampung panamping namun berfungsi berbeda, yaitu: pertama, kokolot lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama puun untuk mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolotan lembur yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan formal. Rumah kokolot lembur dianggap sakral yang tidak boleh diinjak orang asing. Karena itu, rumah kokolot terletak di bagian paling ujung dari jajaran paling luar yang berbatasan langsung dengan hutan kampung. Hal itu, maksudnya agar para guriang yang kehadirannya dianggap penting sebagai penjaga keselamatan masuk ke kampung melalui rumah kokolot.

Pemimpin kampung tangtu adalah jaro tangtu. Ia bertugas sebagai kokolot lembur dan sekaligus pula bertindak sebagai kokolotan lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota kabupaten di Rangkasbitung dan keresiden Banten yang kini Gubernur di Serang. Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun. Apabila calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat saja diangkat.

Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau pemimpin. Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan mengatur seluruh jaro, tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari keduabelas jaro, yaitu tiga jaro tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan Baduy dikenal dengan sebutan jaro duawelas. Jaro warega berperan dalam upacara keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro duawelas.

Jaro pamarentah, adalah jaro Kanekes, kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak, para puun dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu puun dan camat. Karena itu seorang jaro pamarentah merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin itu, yang dengan penuh bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang jaro pamarentah tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia mampu melaksanakan kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah yang berasal dari panamping.

Pada tingkat tangtu terdapat tiga puun, yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di kampung tangtu, tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin bawahan termasuk jaro pamarentah harus tunduk kepada mereka. Puun dalam menjalankan aktivitasnya dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. Pejabat adat dan agama tertinggi yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih. Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada tingkat kampung lainnya selain berada di bawah pengawasan puun juga diamati oleh tangkesan.

Puun mempunyai staf yang lengkap, seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu puun untuk berbagai hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di Cikertawana. Jaro tangtu membantu seurat dan puun secara langsung. Penyampaian berita dan lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.

Semacam dewan penasihat puun terdapat di setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau kumpulan) atau sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh, termasuk jaro tangtu, seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun dan jaro tangtu memecahkan berbagai masalah dan melaksanakan pikukuh.

Dengan demikian seorang puun didukung oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat pelaksanaan pikukuh oleh baresan salapan. Pengawasan para puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh warga Kanekes melalui tanggungan jaro duawelas dan dukun-dukun lembur serta kokolot dan kokolotan lembur.

Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk memelihara alam sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda, dan sultan-sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin agama dihubungkan dengan garis keturunan yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda. Kekuasaan agama dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan dengan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang pemimpin agama mewujudkan identatis masyarakat Baduy, sedangkan seorang pemimpin politik mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan memelihara kelestarian tanah.

Untuk melangsungkan aktivitasnya itu, kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas ritual dan keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam menjalankan aktivitasnya itu saling menyokong dan sekaligus saling terikat. Karena diantara keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy yang bersandar pada pikukuh karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang harus dikatakan dilarang.

DAFTAR PUSTAKA

Berthe, Louis. 2000. Kekerabatan, Kekuasaan dan Cara Berproduksi. Terjemahan Judistira K. Garna. Bandung: Primaco Akademika.

Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1985. Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung Proyek Sundanologi, Dep. Pendidikan & Kebudayaan R.I.

Garna, Judistira K. 1987. Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Garna, Judistira K. 1988. Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.

Geise, N.J.C. 1952 Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten. Disertasi. Leiden.

Jacobs, J. dan J.J. Meijer. 1891. De Badoej’s. ‘s-Gravenhage: Martionus Nijhoff.

Kartawinata, Ade Makmur. 1993. Baduy Bubuara Menatap Tanah Harapan. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Kartawinata, Ade Makmur. 1995. Tidak Sekadar Program Bantuan atau IDT: Konsep Pembangunan Masyarakat Baduy. Pikiran Rakyat, 9 Maret, halaman 8.

Kartawinata, Ade Makmur. 2000. Pamarentahan Baduy di Kanekes. Makalah pada Simposium Internasional II Jornal Antropologi Indonesia. Padang, 18 – 21 Juli.

Pleyte, C.M. 1910. Badoejsche geesteskinderen. Tijdschrift voor Bataviaschap, deel 54, afl. 2, 3-6.

***oleh : Ade Makmur K.

Senin, 09 Agustus 2010

Permén dina kantong kérésék

Sapeuting jeput ngariksa diri
Sugan aya kahadéan anu nyungsi
Weléh teu kapariksa
Rumasa salila hirup pinuh codéka
Sigana getih ngolocor
Jeung jumlah alkohol
Moal aya saperlimana
Saumur ngumbara di alam dunya
Ukur ngarénda dosa
Nyulam nirca
Dina tulang, getih, daging
Jeung liang-liang pangbuka
Rucah taya misti

Lamun kudu dibéjér béaskeun
Nu kainget ukur dua
Hiji teu pernah ngaku jalma bener
Da saenyana,
Teu nyaho nu salah jeung nu bener
Mun téa mah enya, meureun
kungsi ngarépéhkeun budak yatim
Ku permén sasiki
Kitu gé, lain meunang meuli
Panimu tina kantong kérésék di sisi jalan
Pan ceuk para ulama
Barang meunang manggih
kudu dibéwarakeun
Méméh dibikeun
Naha éta téh hiji kahadéan ?
Atawa kagoréngan ?
Duka téh teuing
Da kuring mah teu ngarti

Mangsa nyawa rék paragat
Haté jumerit bari ngalimba
Duh, Gusti Nu Maha Adil
Ku teungteuingeun ieu diri
Bekel ngadeuheus ka Hyang Widi
Ukur permen sasiki
Kitu ogé panimu di sisi jala
Nyanggakeun sadaya-daya
Ka Anjeun Nu Maha Kawasa

Sisi Cibenda, bari niténan kukumbul